Curug Malela, Unexpected Journey

#bumibarat, 12-13 Oktober 2013

Penculikan dini hari

DSC05789

Pukul 3 dini hari, dan di hari sabtu pagi… Raga mana yang tidak sedang terlelap menyambut libur panjang sampai empat hari ke depan. Maka angan-angan untuk bermalas-malasan seharian dengan diawali bangun siang alias “mbangkong”, adalah kesempurnaan awal yang akan menemani libur Idul Adha tahun ini. Maka mimpi indah adalah bunga tidur yang melenakan sang malam. Ya, sang malam yang sedang mendengkur merebahkan raganya setelah lelah meladeni penat ibu kota.

Tapi tidak!, mimpi pagi itu terbangunkan oleh serangkaian sms dan telepon. Siapakah mereka yang merencakan penculikan pagi yang seharusnya menjadi pagi terindah di pertengahan bulan October ini.

“Kohaaan, kita udah di depan gang nih”. Sms singkat yang kemudian diikuti serangkaian bunyi ringtone dari smartphone-ku. Tak sabar sepertinya nada suara di ujung sana. Kemudian seperti terhipnotis, saya pun mengikuti arahan yang diberikan. Mengambil daypack kecil yang berisi kamera full gear, survival kit dan baju ganti seadanya yang akan menemani perjalanan saya nanti. Perjalanan kemana? entahlah… sepertinya saya hanya akan mengikuti kemana sang penculik itu membawaku pergi.

DSC05874

Tiba-tiba saya teringat akan Billbo Baggins di Bag Endnya yang nyaman, liang tanah yang selalu bersih dan penuh makanan untuk memenuhi hobi menikmati kemalasanya dengan berlibur sepanjang tahun. Apakah dia Gandalf dan para kurcaci yang akan menyeret keturunan keluarga Took ini untuk ikut menjelah hingga ke Lonely Mountain untuk mencari harta karunya? Dan siapakah yang pagi ini merencakan penculikan terhadap diri saya?.

Masih gelap di luar sana. Pukul 3 dini hari lewat beberapa menit. Dengan diiringi music rock jadul saya tersadar saat sudah melesat di dalam cabin kendaraan minibus ini. Sudah ada beberapa orang sebelumnya di dalamnya. Entah mereka juga di culik atau malah dengan suka cita menjadi pengikut rombongan ini. Ada Rangga yang memang ditakdirkan untuk menjadi driver, dan lima penghuni bangku belakang adalah wajah-wajah baru yang belum saya kenali. Yang katanya bernama: Uci, Lisa, Dori, Arum dan Ros. Ah nantilah, saat cahaya matahari sudah cukup tentunya akan lebih mudah saya kenali.

Kemana tujuan kami? Kemacetan pagi yang akan mengawali libur panjang, jalanan tol yang luas ini tak bisa dipungkiri menjadi tempat parkir yang terpanjang. Maka menyusuri jalur arteri melewati ruas Jakarta-Bekasi hingga ke Pintu Tol Tambun adalah pilihan yang tepat dari pada harus bermacet ria sejak dari Cawang. Dan kemacetan itu mulai terurai sejak persimpangan Cikampek, kendaran yang kami naiki kemudian memilih jalur Tol Cipularang yang juga ramai, tapi tidak macet seperti ruas Cawang.

Di rest area Purwakarta, Rangga menghentikan mobilnya dan memilih mengisitirahatkan diri, kami semua pun kompak memejamkan mata sebisa mungkin. Hampir semua tertidur menggenapkan waktu tidur yang terampas semalam.Tentunya sambil menyadar-nyadarkan diri tentang kejadian dini hari tadi.

Pencarian tak berujung

Dari Tol Cipularang, Kendaraan Xenia yang kami naiki ini mengambil arah keluar melalui Pintu Tol Padalarang, kemudian dilanjutkan belok ke kiri menuju arah Cianjur. Dan sambil mengikuti papan petunjuk yang ada tujuan kami berikutnya adalah menuju ke Cililin. Disini mulai jelas kemana arah tujuan kami, Gununghalu di Kabupaten Bandung Barat. Mendengar kata Bandung Barat, sepertinya tidak jauh dari kota Bandung. Tapi ternyata perkiraan kami salah, dari Cililin saja masih sekitar 90 km lagi jarak yang ditunjukan oleh GPS yang terpasang di robot ijo miliku. Masih jauh!.

Sebenarnya apa yang dicari oleh segerombolan manusia ibu kota ini, apalagi pakai menculik saya yang sedang nyenyak dalam mimpi indah pagi tadi.

DSC05792

90 km jalur yang kami tempuh adalah jalur kampung dengan kondisi aspal yang lumayan halus, hanya terasa sangat jauh karena kendaraan yang kami lalui tidak bisa memaksimalkan kecepatannya dikarenakan selain jalur sempit juga berkelok-kelok khas jalur pegunungan. Selain jarak, ternyata kendaraan ini juga sempat melewati jalur dengan ketinggain 1000 mdpl. Melewati perkebunan teh dan persawahan dengan. Ya, cukup menghilangkan kebosanan kami didalam kendaraan sempit ini.

Curug Malela

Dan pukul 11 siang, barulah kami sampai di lokasi tujuan. Tapi masih belum sampai ke objek tujuan utama kami. Karena mobil kami harus diparkirkan di rumah peduduk setempat, dan berganti dengan ojek yang akan membawa kami mendekati objek utama. Setelah bernegosiasi, akhirnya kami harus merogoh kocek Rp 40.000 untuk menyewa ojek yang akan mengantarkan kami pulang pergi. Harga yang tidak terlalu mahal, karena ternyata track yang harus kami lewati adalah perkebunan teh dengan 70%nya adalah jalur tanah yang rusak parah dan berbatu.

DSC05796

Naik turun, beroff road ria. Apalagi saya dan rangga berada dalam satu motor supra dan masih ditambah sang empunya ojek. Maka kami bertiga dalam satu ojek yang bergoyang kanan kiri melahap track tanah berbatu ini. Apa jadinya andaikan kami melaluinya di musim hujan, aku yakin jalur ini akan semakin rusak parah dan susah untuk dilalui.

Setengah jam kemudian kami sampai di pintu masuk objek yang kami tuju. Tapi kami masih harus berjalan kaki melewati jalur setapak menurun sekitar 1km lagi. huh!. Apa yang kami cari? Berada di tengah perbukitan dan kebun teh. Jauh dari mana-mana, maka tepat andakian saya menyebutnya seperti tersesat di Lonely Mountain yang tertulis di buku The Hobbit karya JRR Tolkien. Erebor, adalah kota para kurcaci yang di kuasai seekor naga yang haus akan emas. Dan disinikah aku berada, mencari emas yang hilang itu…?

DSC05799

Treking menurun dengan jalan setapak yang sudah dibuat dan ditata rapih, kemudian melewati ladang persawahan penduduk desa Cicadas, Kecamatan Rongga – Gunung Halu. Sayup-sayup terdengar derasnya air. Sisi yang kami lewati adalah jeram yang deras yang masih belum banyak dijamah. Karena lokasinya yang jauh dan cukup terpecil ini. Setelah sekitar 30 menit perjalanan menurun sampailah kami pada sebuah air terjuan yang menjadi tujuan kami. Namanya Curug Malela, atau dikenal juga dengan Mini Niagara. Karena memang bentuknya seperti Niagara. Sayang kami datang di akhir musim panas, hingga debit airnya tidak terlalu banyak.

DSC05826

Hutan hijau yang tidak terlalu rapat. Perbukitan di sekelilingnya pun tidak terlalu lebat, pantas saja jika debit airnya masih tergantung oleh musim hujan. Sejenak saya teringat sebuah perkampungan kaum Elf di lembah Ilmadris, atau lebih dikenal dengan nama Rivendall. Air terjun yang mengalir mengelilingi lebah ditengah perbukitan itu telah sempurna menyembunyinkan surga yang nyaman untuk ditinggali. Disanalah Lord Elfrod tinggal, menyimpan pedang Narsil yang telah patah saat melawan Sauron.

Baru saja kami menikmati Air Terjun, hujan gerimis menyambut kami. Tapi tidak mematahkan semangat rombongan kurcaci yang mengawalku tadi, mereka asik saja berfoto dengan backgroud Curug Malela. Untung tak lama gerimis itu menyambut kami, sehingga makin semangat saja kami berfoto mengabadikan moment. Atau sekedar menjaga eksistensi kami biar di cap sebagai traveler addict yang menjejakan kaki dimana saja dan mengabiskan waktu jauh dari rumah, hm… hahha..

Tidak terlalu lama menikmati derasnya curug di ketinggan 760 mdpl ini, kemudian memilih kembali dengan melahap tanjakan yang cukup melelahkan. Dan diteruskan kembali ke penitipan mobil kami masih dengan menaiki ojek dan beroff road yang mendebarkan.

DSC05880

Sukabumi dan Situ Gunung

Kemana kami selanjutnya? Ternyata tidak ada tujuan pasti yang akan membawa kami menikmati akhir pekan ini. Melihat lokasi kami saat ini lebih dekat jika pulang melalui Cianjur, maka kami memutuskan untuk tidak kembali ke jalur awal, tapi memilih meneruskannya. Jarak 63 km yang terpampang di GPS. Tak salah jika naluri kami memilih jalur terdekat. Tapi ternyata yang pertama kami temui adalah 20 km jalur berbatu dan menurun yang cukup melelahkan.

Tak ayal, jarak yang lebih pendek itupun tidak bisa kami tempuh dengan cepat. Pukul 9 malam kami masih jauh dari Cianjur. Dan sempat memenuhi perut kami yang sudah kelaparan ditengah jalan. Tujuan selanjutnya adalah ke rumah salah seorang sahabat yang saya kontak sebelumnya. Kang Dadank dan Mila, dua sahabat yang memilih menyatukan hidup dalam satu keluarga itu kukenal saat masih bekerja di Surabaya. Kami aktif dalam satu komunitas online Jejak Petualang Community.

DSC05998

Hampir jam 12 malam barulah kami sampai dirumah kang dadang di lebak Siu-Sukabumi. Berisitirahat seadanya di atas karpet adalah keistimewaan tersendiri yang selalu mewarnai cerita #turupasar melengkapi perjalanan kami. Berbincang sebentar dengan Kang Dadang, kemudian sebagian dari kami telah terlelap berselimutkan dinginya udara Sukabumi.

Keesokan harinya, karena rumah kang Dadang ini sejalur dengan arah ke Situ Gunung, maka kami pun berniat untuk menikmati danau di kaki Gunung Gede Pangerango ini. Situ ini di kelola oleh Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) dengan beberapa objek wisata yang ada disekitarnya, salah satunya dalah Curug Sawer yang bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh 10km dari Pintu Masuk.

Treking singkat dari parkiran mobil, kemudian sampailah di Situ Gunung. Cuaca mendung sepertinya menyembunyikan kecantikan danau ini. Sendainya lagit biru dengan sedikit awan putih, aku yakin danau ini akan begitu cantik jika diabadikan dengan kemera apapun. Gerimis yang kembali datang, tidak menyurutkan pengunjung untuk menikmati danau ini. Udara yang sejuk dan taman rumput yang luas sangat pas untuk bermain bersama anak-anak mereka. Mungkin sangat pas untuk bermesraan dengan kekasih.

DSC05994

Dari Situ ini, ada sedikit perdebatan di antara kami. Ada yang ingin mengunjungi Curug Sawer, namun ada juga yang ingin istirahat. Maka keputusan akhirnya ditentukan oleh hujan deras yang tiba-tiba datang mengguyur kami dan seolah menyuruh kami untuk turun menggalkan hutan tropis di sisi selatan Gunung Gede Pangrango ini.

Pilihan selanjutnya adalah kembali pulang ke Jakarta. Memutar melewati jalur Sukabumi dan menghindari Puncak, kerena di libur panjang ini dipastikan dilakukan Buka Tutup yang melewati jalur Pucak-Ciawi. Cukup lama juga menempuh perjalanan pulang, hingga akhirnya kembali ke Jakarta sekitar pukul 9 malam. Tubuh yang sudah capek ini segera dimandikan untuk kemudian bertemu kasur hangat selalu dirindukan saat perjalan panjang sedang dijalani, dan Pulang adalah kembali menjadi tepat dimana semau akan diawali.

DSC06001

-hans-

http://www.trihans.com | @trihansdotcom

5 responses to “Curug Malela, Unexpected Journey

Leave a comment